Jakarta, Jumlah perokok di Indonesia tahun 2010
mencapai 65,2 juta. Angka ini naik 2 kali lipat dari tahun 1995 sebanyak
34,7 juta jiwa. Di antara jumlah tersebut, 4,8 juta jiwa di antaranya
adalah wanita. Angka ini mengalami kenaikan 4 kali lipat dari tahun 1995
sebanyak 1,1 juta jiwa.
Indonesia merupakan pangsa pasar yang
sangat menjanjikan bagi industri rokok. Dengan jumlah penduduk terbesar
nomor 4 di dunia dan kurangnya regulasi mengenai rokok, industri rokok
tumbuh subur di tanah air.
Padahal rokok jelas-jelas tidak
memiliki manfaat kesehatan. Yang mengkhawatirkan, terjadi peningkatan
jumlah perokok di Indonesia dari kalangan remaja dan wanita.
Hasil
penelitian dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI tahun 2010 cukup
mengkhawatirkan terlebih untuk anak-anak. Jumlah perokok dari kalangan
anak-anak berusia 10-14 tahun dari tahun 1995 hingga 2007 mengalami
peningkatan 6 kali lipat, yaitu dari 71.126 orang menjadi 426.214 orang.
“Angka
ini mengkhawatirkan sebab pada tahun 2020-2030 nanti Indonesia akan
mengalami bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih
banyak dari yang usia non produktif. Apa jadinya jika penduduk usia
produktif justru sakit-sakitan,” kata Abdillah Ahsan MSE, Peneliti dari
Lembaga Demografi FEUI dalam acara Diskusi Publik mengenai Riset Relasi
Politik Bisnis Tembakau yang diselenggarakan Indonesian Corruption Watch
(ICW) di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis (7/6/2012).
Lebih rinci
lagi, Abdillah memaparkan bahwa jumlah remaja perempuan perokok yang
berusia 15-19 tahun naik 5 kali lipat. Yaitu dari 0,3% menjadi 1,6% dari
total perokok di Indonesia. Pada remaja laki-laki kenaikannya ‘hanya’ 2
kali lipat, yaitu dari 14% pada tahun 1995 menjadi 37% di tahun 2007.
“Pada
pria, jumlah perokok mengalami peningkatan 2 kali lipat. Jika tahun
1995 ada 1 dari 3 orang pria yang merokok, pada tahun 2010 naik menjadi 2
dari 3 orang pria adalah perokok. Artinya makin sulit cari menantu yang
nggak merokok,” seloroh Abdillah.
Menurut Abdillah, kenaikan ini
terjadi akibat tidak adanya regulasi yang mengatur secara ketat
mengenai penggunaan dan promosi rokok, terutama pada anak-anak. Bahkan
kios rokok banyak yang didirikab di depan sekolah sehingga siswa sekolah
mudah mengakses dan membeli rokok.
“Apalagi rokok bisa dibeli
ngecer. Paling murah Rp 500. Kalau anak diberi uang saku Rp 2.000, dia
sudah bisa beli 4 batang rokok. Dan itu sudah cukup untuk membuat
kecanduan,” kata Abdillah.
-STRAIGHT EDGE INDONESIA-